MANAJEMEN KEUANGAN

BAB 10
ARBITRAGE PRICING THEORY, MODEL EMPIRIS DAN PENGUJIAN EMPIRIS MODEL KESEIMBANGAN
PENDAHULUAN
Model APT berusaha menjelaskan hubungan antara risiko dengan tingkat keuntungan. APT berbeda dengan CAPM dalam dua hal. Pertama, proses keseimbangan yang dibayangkan oleh APT adalah mekanisme arbitrase. Arbitrase dilakukan sampai harga yang terjadi sama untuk semua aset yang mempunyai risiko yang sama, mengikuti hukum the law of one price. Dalam CAPM, investor berusaha memaksimumkan kepuasannya (utility function). Kedua, jika CAPM sampai pada kesimpulan bahwa faktor pasar mempegaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan, APT sampai pada kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan untuk suatu aset. Sayanganya teori APT tidak menjelaskan berapa faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan tersebut. Jumlah faktor akan di tentukan oleh pengujian empiris.
ARBITRAGE PRICING THEORY
Proses Arbitrase
Kegiatan arbitrase adalah kegiatan yang berusaha memperoleh keuntungan arbitrase. Keuntungan arbitrase adalah keuntungan yang diperoleh dengan modal nol dan risiko nol. Proses arbitrase akan mendorong berlakunya hukum satu harga (the law of one price). Hukum tersebut pada dasarnya mengatakan bahwa aset dengan karakteristik yang sama akan terjual dengan harga yang sama dimanapun di dunia ini. Beta portofolio merupakan rata-rata tertimbang beta individualnya sebagai berikut ini :
βP = ∑ wi βI
Diamana : βP = beta portofolio
     ∑  = simbol penjumlahan
    wi = bobot atau proporsi untuk aset i
     βi = beta aset i
Model Arbitrage Pricing Theory
Proses penghasilan return (return generating process) menurut APT bisa dirumuskan sebagai berikut ini :
 Ri = E(Ri) + β1 (RF1 - E(RF1)) + ……… + βN (RFN – E(RFN))+ei
Dimana : Ri                 = tingkat keuntungan (return) aset i yang terjadi
   E(Ri)                        = tingkat keuntungan aset i yang diharapkan
   β1 … βN      = risiko sistematis aset terhadap faktor 1 ... faktor N
   RF1 ... RFN = tingkat keuntungan dari faktor 1 ...faktor N
Faktor tersebut bisa berupa faktor pasar (RM, seperti dalam CAPM) atau faktor lainnya, seperti faktor ekonomi (pertumbuhan GNP, inflasi, dan sejenisnya). Persamaan di atas mengatakan bahwa return suatu aset sama dengan
1.      return yang diharapkan
2.      perubahan faktor yang tidak diharapkan {RF - E(RF}
3.       sensitifias aset i terhadap perubahan.
faktor pada 2 dan 3 random term yang mencerminkan faktor spesifik perusahaan/industri. Dalam APT, hanya perubahan yang tidak terduga yang dikompensasi oleh return, seperti terlihat berikut ini. Return bisa dipecah ke dalam return yang diharapkan dan return yang tidak diharapkan:
R = E(R) + Unexpected (Tidak Terduga)
Return yang tidak terduga bisa dipecah ke dalam dua tipe:
1.      Return yang tidak diharapkan yang berasal dari kejutan (surprises) faktor-faktor tertentu. Kejutan tersebut bersifat sistematis (tidak bisa dihilangkan melalui diversifikasi)
2.      Return yang tidak diharapkan yang berasal dari kejutan (surprises) dari perusahaan spesifik. Kejutan tersebut bersifat tidak sistematis (bisa dihilangkan melalui diversifikasi).
Misalkan ada tiga faktor yang terlibat: (1) Inflasi, (2) Pertumbuhan GNP, dan (3) Perubahan Tingkat Bunga. Model di atas bisa dipecah ke dalam model berikut ini.
Ri = E(Ri) + βi - inflasi Finflasi + βi - GNP FGNP + βi - tkt-bunga Ftkt - bunga + εi
Misalkan seorang investor memegang banyak (N) saham dalam portofolionya. Sumber return dari portofolionya bisa dilihat sebagai berikut ini :
RP = E(RP) + βP - inflasi Finflasi + βP - GNP FGNP + βP - tkt + εP
 E(RP) = X1 E(R1) + ……… + XN E(RN)
 βP-Faktor = X1 β1 - Faktor F1 + ……… + X1 βN - Faktor FN
εP = X1 ε1 + ……… + XN εN
Karena ε1…εN bersifat tidak sistematis, maka εP diharapkan mempunyai nilai 0. Dengan demikian tingkat keuntungan portofolio bisa ditulis sebagai berikut ini :
RP = E(RP) + βP - inflasi Finflasi + βP - GNP FGNP + βP – tkt bunga Ftkt bunga
Perhatikan hanya risiko sistematis terhadap faktor-faktor yang dikompensasi oleh kenaikan return. Dengan melakukan beberapa manipulasi matematis, model APT yang ekuivalen dengan SML dalam CAPM bisa dirumuskan sebagai berikut ini :
 E(Ri) = Rf + βi1 (RF1 − Rf) + ……… + βiN (RFN − Rf)
Dimana : E(Ri)             = Tingkat keuntungan yang diharapkan untuk aset i
   Rf                  = Teturn aset bebas risiko
               RF1 .. RFN  = Untuk risiko faktor 1,2,3, dan N
   βi1 .. βiN      = Risiko sistematis untuk faktor 1, 2, 3, dan N
Perhatikan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan. Jika hanya satu faktor dalam model tersebut, dan faktor tersebut adalah return pasar, maka APT akan sama dengan CAPM. Sayangnya APT tidak menjelaskan berapa faktor yang relevan dalam model tersebut. Kelebihan APT dibandingkan dengan CAPM adalah APT tidak memerlukan portofolio pasar dalam perhitungan tingkat keuntungan suatu aset. Secara teoritis, portofolio pasar yang digambarkan oleh CAPM adalah portofolio yang mencakup semua.
Perbandingan CAPM dengan APT
CAPM dan APT merupakan dua model yang berusaha menjelaskan return atau tingkat keuntungan. Keduanya ‘bersaing’ menjadi model terbaik yang bisa menjelaskan return. CAPM lebih tua, dan saat ini diaplikasikan lebih banyak. CAPM juga banyak mempengaruhi model akademis. Tetapi meskipun nampaknya CAPM lebih mapan, perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa validitas CAPM diragukan. Pengujian empiris terbaru dan juga kritik lainnya mempertanyakan validitas CAPM. Validitas CAPM dengan demikian masih merupakan kontroversi. Model APT masih relatif baru. Pengujian empiris dan pengembangannya masih dalam tahap awal. Karena itu APT belum bisa menggantikan posisi CAPM.
PENGUJIAN MODEL KESEIMBANGAN
Data Historis dan Model Berdasarkan Ekspektasi (Pengharapan) dalam CAPM
Salah satu masalah dalam pengujian CAPM adalah CAPM ditulis dalam bentuk ekspektasi (pengaharapan). Pengujian empiris dengan demikian harus melihat proksi untuk variabel pengaharapan tersebut. Tentu saja hal tersebut merupakan masalah yang sangat sulit karena pengharapan sangat sulit diobservasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, data historis sering digunakan sebagai proksi pengharapan di masa mendatang. Asumsi yang digunakan adalah pola data historis adalah stabil, dan secara umum (rata-rata) dalam jangka panjang, pengharapan investor akan terbukti benar. Dua argumen tersebut mendasari dipakainya data historis sebagai pengukur harapan (ekspektasi) di masa mendatang. Argumen lain menggunakan pendekatan sebagai berikut ini. Menurut model pasar, return suatu saham dipengaruhi oleh return pasar sebagai berikut ini :
 R~it = αi + βi (R~Mt) + e~it
Dimana tanda ~ berarti variabel tersebut bersifat random. Return yang diharapkan bisa dituliskan sebagai berikut :
E(Ri) = αi + βi E(RM) atau E(Ri) - αi - βi E(RM) = 0
Dengan menambahkan term tersebut (yang nilainya 0, sehingga penambahan term tersebut tidak akan berpengaruh), dan kemudian kita melakukan penyederhanaan, maka akan diperoleh:
R~it = E(Ri) + βi (R~Mt - E(RM) ) + e~it
Model CAPM sederhana bisa dituliskan sebagai berikut :
E(Ri) = RF + βi [ E(RM) - RF ]
Persamaan di atas dimasukkan kembali ke persamaan sebelumnya, kemudian dilakukan penyederhanaan, maka kita akan memperoleh :
R~it = RF + βi (R~Mt - RF) + e~it
Model tersebut menunjukkan bahwa data historis nampaknya bisa digunakan untuk menguji CAPM. Tetapi ada tiga asumsi yang mendasari model tersebut:
1.      Model pasar berlaku untuk setiap periode
2.      Model CAPM berlaku untuk setiap periode
3.      Beta stabil selama waktu pengamatan.
Pengujian dengan model diatas, merupakan pengujian secara simultan ketiga hipotesis tersebut.
Pengujian Empiris CAPM
Baik tidaknya suatu model bisa dilihat pada kemampuannya menjelaskan fenomena. Meskipun CAPM dibangun atas dasar asumsi yang tidak realistis, tetapi baik tidaknya CAPM akan ditentukan oleh kemampuannya menjelaskan fenomena. Beberapa implikasi dari CAPM bisa ditarik, yaitu:
1.      Semakin besar risiko sitematis pasar (bi) akan semakin tinggi tingkat keuntungan aset tersebut.
2.      Hubungan antara risiko sistematis dengan tingkat keuntungan (return) bersifat linear
3.      Hanya risiko sistematis yang dikompensasi oleh kenaikan tingkat keuntungan (return). Risiko atau faktor lainnya tidak ada hubungannya dengan return.
Pengujian oleh Black, Jensen, dan Scholes (1972)
Black, Jensen, dan Scholes (1972) menguji CAPM cukup mendalam. Mereka melakukan pengujian CAPM melalui pengujian time-series dan cross-sectional. Pertama, mereka menguji model time-series CAPM
Rit – RFt = αi + βi (RMt - RFt) + eit
Jika CAPM menjelaskan return, maka kita bisa mengharapkan nilai αi = 0. Kita bisa menggunakan saham (sampel) yang banyak, dan kemudian untuk setiap sampel, dijalankan regresi seperti di atas. Kemudian distribusi alpha (αi ) atau intercept bisa dilihat dan diuji, apakah sama dengan nol atau tidak.  Untuk mengatasi masalah tersebut, pengujian time-series portofolio bisa digunakan. Untuk setiap periode, kita membentuk portofolio yang kemudian dihitung return atas portofolio tersebut, sebagai berikut ini.
RPt – RFt = αP + βP (RMt - RFt) + ePt

Pengujian oleh Fama dan MacBeth (1973)
Fama dan MacBeth (1973) melakukan pengujian CAPM dengan menggunakan spesifikasi berikut ini :
Rit = γ0t + γ1t βi + γ2t βi2 + γ3t Sei + ηit
Spesifikasi tersebut ditujukan untuk menguji hipotesishipotesis berikut ini.
1.      Hipotesis 1: Menurut CAPM, ada hubungan antara risiko sistematis dengan return. Jika hal tersebut berlaku, kita bisa mengharapkan nilai koefisien regresi γ1t adalah positif
2.       Hipotesis 2: Menurut CAPM, hubungan antara risiko sistematis dengan return bersifat linear. Jika hipotesis tersebut didukung oleh data empiris, maka koefisien regresi γ2t mempunyai nol. βi2 (beta dikuadratkan) dimaksudkan untuk melihat non-linearitas hubungan antara risiko sistematis dengan return.
3.      Hipotesis 3: Menurut CAPM, hanya risiko sistematis yang dihargai oleh pasar. Risiko tidak sistematis tidak dihargai oleh pasar. Sei dipakai sebagai proksi untuk risiko tidak sistematis (residual). Jika CAPM didukung oleh bukti empiris, maka koefisien regresi γ3t mempunyai nilai 0.
Fama dan MacBeth (1973) menghitung beta first-pass regression dengan metode yang sama dilakukan oleh Black, Jensen, dan Scholes (1972). Mereka membentuk 20 portofolio menggunakan data bulanan 5 tahun sebelumnya (sebelum pengujian cross-sectional). Kemudian, menguji second-pass regression dengan menggunakan data bulan berikutnya (sesudah lima tahun first-pass regression). Kemudian mereka mengulangi prosedur yang sama, sehingga pengujian cross-sectional dilakukan tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali dari periode tahun 1935 sampai dengan tahun 1968. Dengan cara semacam ini, mereka bisa melihat bagaimana parameter-parameter tersebut berubah dari waktu ke waktu. Nilai rata-rata untuk setiap parameter (γ0t , γ1t , γ2t , γ3t ) kemudian dihitung dan kemudian diuji signifikansinya, apakah berbeda dari nol atau tidak. Hasil pengujian menunjukkan, secara umum koefisien regresi γ1t menunjukkan rata-rata angka yang positif dan signifikan berbeda dari nol. Sedangkan regresi γ2t dan γ3t menunjukkan rata-rata angka yang kecil dan tidak berbeda dari nol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa CAPM didukung oleh data empiris.
Kritik terhadap CAPM
Bukti-bukti empris yang disajikan di muka nampaknya mendukung CAPM. Tetapi perkembangan selanjutnya mempertanyakan validitas CAPM baik secara teoritis konseptual maupun secara empiris.
Kritik Roll terhadap CAPM
Richard Roll (1977) melancarkan kritik secara konseptual terhadap CAPM. Pada intinya, Roll berargumen bahwa CAPM tidak bisa diuji secara empiris. Argumen yang lebih rinci adalah sebagai berikut ini.
1.      Hanya ada satu hipotesis yang diuji dari CAPM yaitu portofolio pasar adalah efisien (dalam konteks mean atau return-varians).
2.      Semua implikasi dari model, yaitu hubungan yang linear antara return dengan risiko sistematis (beta), merupakan kelanjutan dari efisiensi portofolio pasar dan dengan demikian tidak bisa diuji secara independen. Ada hubungan ‘jika dan hanya jika’ (if and only if) antara hubungan beta-return dan efisiensi portofolio pasar (hubungan beta return bisa diuji hanya jika portofolio pasar adalah efisien, jika tidak efisien maka kita tidak bisa menguji hubungan beta-return).
3.      Jika menggunakan data historis, maka ada portofolio pasar yang efisien yang jumlahnya tidak terbatas. Beta tersebut akan berada pada garis SML. Dengan kata lain, beta yang dihitung menggunakan portofolio tersebut akan berada pada garis SML, tidak tergantung apakah portofolio pasar efisien (dalam konteks mean dan varians) dalam bentuk pengharapan (ex-ante).
4.      CAPM tidak bisa diuji kecuali jika mengetahui komposisi portofolio pasar yang sesungguhnya, dan menggunakannya untuk pengujian empiris. Hal tersebut berarti teori CAPM tidak bisa diuji kecuali jika kita bisa mengidentifikasi semua aset individual dan memasukkannya sebagai portofolio pasar.
5.      Menggunakan indeks pasar (misal Indeks Harga Saham Gabungan atau Standard and Poors 500) sebagai proksi portofolio pasar bisa menimbulkan masalah. Pertama, proksi itu sendiri barangkali efisien dalam konteks mean-varians, meskipun portofolio pasar yang sesungguhnya tidak efisien dalam konteks mean-varians. Sebaliknya, proksi tersebut barangkali tidak efisien, tetapi hal tersebut tidak mempunyai implikasi apapun terhadap portofolio pasar yang sesungghnya. Kemudian, proksi-proksi yang ada (yang banyak) akan berkorelasi tinggi satu sama lain, juga dengan portofolio pasar yang sesungguhnya, tidak tergantung apakah proksi tersebut efisien atau tidak. Korelasi yang tinggi bisa membuat kita berkesimpulan komposisi portofolio pasar yang tepat tidak penting, padahal penggunaan proksi yang berbeda bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Problem tersebut sering disebut benchmark error, yaitu penggunaan benchmark yang salah dalam pengujian suatu teori.
Pengujian Pre-Spesifikasi
Faktor Pengujian lain adalah dengan menentukan faktor-faktor apa saja yang bisa mempengaruhi return saham/aset. Kalau dalam metode pertama penentuan faktor ditentukan oleh hasil/perhitungan empiris, dalam metode kedua, faktorfaktor ditentukan di muka. Faktor-faktor tersebut bisa diambil dari teori ekonomi atau pengamatan empiris. Sebagai contoh, Chen, Roll dan Ross (1986) berargumen bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi risiko saham, yaitu:
1.      Inflasi: inflasi mempengaruhi aliran kas masa mendatang dan juga discount rate
2.      Term structure atau yield curve: Yield curve adalah perbedaan antara yield obligasi jangka waktu panjang dengan yield obligasi jangka pendek. Yield curve tersebut mempengaruhi discount rate (risiko).
3.      Premi risiko: Perbedaan antara tingkat bunga untuk obligasi risiko rendah (rating Aaa) dengan tingkat bunga obligasi risiko tinggi (Baa). Premi risiko mempengaruhi discount rate.
4.      Produksi industri. Perubahan produksi industri mempengaruhi aliran kas masa mendatang. 
MODEL EMPIRIS DAN MODEL TIGA FAKTOR
Model Empiris
Model empiris dalam penentuan tingkat keuntungan yang diharapkan didasarkan pada pengamatan empiris, berbeda dengan model CAPM atau APT yang didasarkan pada pengembangan teori. Model empiris tersebut melihat adanya pola-pola tertentu di pasar keuangan, yang mempengaruhi tingkat keuntungan. Bagian atas (pengujian empiris) menunjukkan adanya anomalianomali yang tidak bisa dijelaskan oleh model-model keseimbangan risiko-return. Anomali tersebut adalah (antara lain) anomali ukuran (size), anomali rasio PER (Price Earning Ratio), dan anomali rasio BE/ME (Book Value to Market Value of Equity).
Dengan menggunakan ketiga anomali tersebut, kita bisa mengembangkan model empiris, misal seperti berikut ini :
E(Ri) = RF + βi 1 (Size) + βi 2 (PER) + βi 3 (BE/ME) + eit
βi bisa diestimasi berdasarkan data historis (time-series). Setelah βi dihitung, tingkat keuntungan yang diharapkan untuk suatu aset bisa dihitung.
Model Tiga Faktor Fama dan French
Berangkat dari anomali-anomali yang telah ditemukan, Fama dan French (1992) berargumentasi bahwa garis SML seharusnya dipengaruhi oleh tiga faktor. Ketiga faktor tersebut adalah:
1.      Beta CAPM, yang mengukur risiko pasar.
2.      Size (ukuran) saham, yang dilihat melalui nilai kapitalisasi pasar saham (jumlah saham yang beredar dikalikan dengan harga saham). Saham kecil cenderung mempunyai risiko yang lebih tinggi, karena itu mempunyai tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan saham besar.
3.      Nilai buku saham dibagi dengan nilai pasar saham (Book-to-Market ratio). Nilai rasio B/M yang besar mencerminkan investor yang pesimistis terhadap masa depan perusahaan. Sebaliknya, jika investor optimistik terhadap masa depan perusahaan, maka nilai B/M akan kecil (nilai pasar saham jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai bukunya). Saham dengan nilai B/M besar cenderung lebih berisiko (kemungkinan bangkrut lebih besar) dibandingkan dengan saham dengan nilai B/M rendah, dan dengan demikian mempunyai tingkat keuntungan yang diharapkan lebih tinggi dibandingkan dengan saham dengan B/M rendah.



Komentar

Posting Komentar